Barang Sehari-Hari yang Dulunya Sangat Mahal

indranila - Ada sesuatu yang memikat dari cara waktu mengubah nilai sesuatu. Barang-barang yang kini kita anggap remeh, yang terselip di saku atau berjejer di rak supermarket, pernah menjadi simbol kemewahan, hanya dimiliki oleh segelintir orang. Dulu, memiliki barang-barang ini menandakan status sosial, kekayaan, atau bahkan kuasa. Melalui lensa nostalgia, mari kita telusuri beberapa barang sehari-hari yang dulunya sangat mahal, namun kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita.

garam dulu dianggap barang mahal

Garam: Emas Putih yang Berharga

Bayangkan sebuah masa ketika garam, bumbu sederhana yang kini ada di setiap dapur, dihargai setara emas. Di zaman Romawi kuno, garam begitu berharga hingga prajurit dibayar dengan jatah garam—asal kata "salary" berasal dari sini, dari kata Latin *salarium*. Garam bukan sekadar penyedap rasa; ia adalah kunci untuk mengawetkan makanan di era tanpa kulkas. Kekurangan garam bisa berarti kelaparan di musim dingin. Kota-kota seperti Salzburg di Austria tumbuh makmur karena tambang garamnya, dan perdagangan garam menggerakkan ekonomi dunia kuno. 

Kini, kita membeli garam dengan harga yang nyaris tak terasa di dompet. Tapi, coba bayangkan betapa berharganya sejumput garam bagi nenek moyang kita. Setiap butir adalah hasil jerih payah, kadang-kadang bahkan nyawa, dari para penambang atau pedagang yang melintasi padang pasir demi membawanya ke meja makan.

Buku: Harta Karun Pengetahuan

Sebelum mesin cetak Gutenberg mengubah dunia pada abad ke-15, buku adalah barang mewah yang hanya dimiliki oleh kaum elit, biara, atau bangsawan. Setiap buku ditulis tangan oleh para biarawan atau juru tulis, sebuah proses yang bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Satu buku bisa seharga sebuah rumah! Kertas perkamen, yang terbuat dari kulit hewan, dan tinta yang diracik dengan susah payah, menambah biaya produksi. Membaca bukanlah aktivitas santai; itu adalah hak istimewa.

Ketika saya kecil, saya masih ingat betapa bangganya saya saat memiliki buku pertama saya—sebuah novel petualangan yang dibelikan ayah saya di pasar loak. Sekarang, buku-buku bertebaran di mana-mana, dari toko daring hingga perpustakaan digital. Tapi, ada romantisme tersendiri dalam membayangkan seorang biarawan abad pertengahan, menyalin naskah di bawah cahaya lilin, demi menjaga pengetahuan agar tak lenyap ditelan waktu.

Cokelat: Minuman Para Raja

Cokelat, camilan favorit yang kini ada di setiap minimarket, pernah menjadi barang langka yang hanya dinikmati oleh para bangsawan di Mesoamerika dan Eropa. Ketika biji kakao pertama kali dibawa ke Eropa oleh penjelajah Spanyol pada abad ke-16, cokelat diolah sebagai minuman pahit yang mahal dan eksklusif. Hanya kalangan elit yang bisa menikmati secangkir cokelat panas, sering kali dicampur dengan rempah-rempah mahal seperti vanila atau kayu manis. Di istana Prancis, cokelat bahkan dianggap sebagai afrodisiak!

Bayangkan betapa istimewanya menyeruput cokelat di masa itu, ketika satu cangkir bisa seharga upah pekerja selama sebulan. Kini, kita bisa membeli cokelat batangan dengan harga receh, tapi kenikmatan itu tetap membawa jejak sejarah panjang—dari hutan-hutan Amerika Tengah hingga meja makan kita.

Telepon: Suara dari Masa Depan

Saya masih ingat cerita kakek saya tentang telepon pertama di desanya, sebuah kotak kayu besar dengan gagang yang harus diputar. Di tahun 1970-an, memiliki telepon rumah adalah tanda kemakmuran. Biaya pemasangan dan langganan bulanan sangat mahal, apalagi untuk panggilan jarak jauh. Dulu, menelepon ke luar kota terasa seperti acara besar—semua orang di rumah berkumpul untuk mendengar suara kerabat yang jauh.

Kini, ponsel pintar ada di genggaman setiap orang, bahkan anak-anak. Kita tak lagi membayar per menit untuk berbicara, dan panggilan video lintas benua menjadi hal biasa. Namun, ada rindu pada masa ketika mendengar suara seseorang dari jauh terasa seperti keajaiban.

Kesimpulan: Harta yang Kini Biasa

Garam, buku, cokelat, telepon—barang-barang ini pernah menjadi lambang kemewahan, diperjuangkan dengan keringat, darah, dan kekayaan. Kini, mereka begitu mudah dijangkau, hingga kita lupa betapa berharganya mereka di masa lalu. Nostalgia ini mengingatkan kita untuk menghargai hal-hal kecil dalam hidup, karena di balik kesederhanaannya tersimpan cerita panjang tentang perjuangan manusia. Mungkin, seratus tahun dari sekarang, anak cucu kita akan terkagum-kagum mendengar bahwa dulu kita harus membayar mahal untuk internet atau air bersih—barang yang mereka anggap remeh. Waktu memang ajaib, bukan? 

Tidak ada komentar untuk "Barang Sehari-Hari yang Dulunya Sangat Mahal"